Dampak Psikologis Saat Melakukan Aborsi

Mengapa Aborsi Bisa Terjadi dan Dampaknya bagi Psikologis Perempuan

Mengapa Aborsi?

Aborsi merupakan salah satu bentuk penanganan terhadap kondisi kehamilan yang tidak diinginkan. Alasan yang mendorong seseorang melakukan aborsi sangat beragam dan sifatnya pribadi.
Beberapa perempuan mengambil keputusan ini karena alasan ekonomi, usia yang sudah lanjut, belum siap menjadi orang tua, fokus pada karier, atau karena mengalami kekerasan seksual.

Setiap keputusan tentu melalui pertimbangan panjang. Meskipun begitu, proses aborsi sering kali menimbulkan tekanan emosional yang mendalam. Banyak perempuan harus menghadapi rasa bersalah, cemas, hingga stres setelah menjalani tindakan tersebut.


Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD)

Gangguan Stres Pasca-Trauma (Post Traumatic Stress Disorder) adalah kondisi psikologis yang muncul setelah seseorang mengalami peristiwa menakutkan, mengejutkan, atau membahayakan.
Reaksi paling umum dari penderita adalah rasa takut, cemas, dan sulit mengendalikan emosi.

Sebagian besar orang mampu pulih secara perlahan setelah mengalami peristiwa traumatis, tetapi sebagian lainnya justru terus merasakan ketakutan dan tekanan batin.
Jika kondisi itu berlangsung lama, dokter atau psikolog biasanya mendiagnosis pasien dengan Gangguan Stres Pasca-Trauma (PTSD).

Penderita PTSD sering merasa gelisah, panik, atau takut meskipun tidak sedang menghadapi bahaya nyata.
Mereka juga bisa mengalami gangguan tidur, mimpi buruk, atau bahkan menarik diri dari lingkungan sosial.


Sindrom Stres Pasca-Aborsi (PASS)

Selain PTSD, perempuan yang menjalani aborsi bisa mengalami Sindrom Stres Pasca-Aborsi (Post Abortion Stress Syndrome / PASS).
PASS menggambarkan kondisi emosional dan psikologis yang muncul setelah tindakan aborsi, seperti perasaan bersalah, sedih, kehilangan, atau penyesalan.

Meskipun istilah PASS belum diakui secara resmi dalam dunia medis, banyak psikolog dan terapis menggunakan istilah ini untuk memudahkan penanganan pasien dengan gejala serupa PTSD.

Setiap peristiwa traumatis, termasuk aborsi, bisa memicu gangguan stres berkepanjangan. Karena itu, bantuan konseling profesional sangat penting untuk membantu pasien mengelola emosi dan memulihkan keseimbangan psikologisnya.

Baca Juga: Klinik Aborsi


Mengapa Aborsi Bisa Menjadi Trauma

Tidak semua perempuan mengalami trauma setelah aborsi.
Sebagian justru merasa lega karena berhasil keluar dari tekanan berat.
Namun, hampir semua sepakat bahwa aborsi bukanlah keputusan yang mudah.

Banyak psikiater berpendapat bahwa kesadaran akan adanya kehidupan yang sedang tumbuh di dalam rahim berpengaruh besar terhadap kondisi emosional perempuan.
Ketika seseorang sadar bahwa proses kehidupan itu terhenti akibat aborsi, perasaan bersalah sering muncul dan menimbulkan luka psikologis yang mendalam.

Berikut beberapa faktor yang membuat aborsi menjadi peristiwa traumatis:


1. Aborsi Terjadi Karena Tekanan

Sebagian besar perempuan melakukan aborsi karena tekanan dari lingkungan, bukan karena keinginan pribadi.
Tekanan bisa datang dari orang tua, pasangan, teman, atau bahkan tenaga medis yang mendorong pasien untuk menggugurkan kandungan.

Menurut terapis jiwa Susanne Babbel dari San Francisco, perempuan dalam kondisi seperti ini sering merasa aborsi adalah satu-satunya cara untuk keluar dari stres.
Namun, keputusan yang muncul karena paksaan justru meninggalkan luka emosional yang lebih dalam.


2. Aborsi Menggunakan Metode Medis Tanpa Dukungan

Metode aborsi dengan obat sering dilakukan di rumah tanpa pengawasan dokter.
Pasien biasanya menggunakan obat aborsi seperti pil penggugur kandungan dengan harapan prosesnya cepat dan rahasia terjaga.

Sayangnya, banyak perempuan justru mengalami rasa sakit fisik yang hebat dan tekanan emosional berat setelah melihat sisa jaringan janin yang keluar.
Situasi itu bisa menimbulkan trauma mendalam, terutama jika pasien tidak memiliki pendampingan medis maupun emosional.


3. Riwayat Depresi dan Kekerasan Seksual

Perempuan dengan riwayat depresi, kecemasan, atau kekerasan seksual lebih rentan mengalami stres pasca aborsi.
Bagi korban kekerasan seksual, kehamilan sendiri sudah menjadi trauma, sehingga aborsi menambah beban emosional yang berat.

Tanpa pendampingan psikologis, pasien dapat mengalami rasa bersalah berkepanjangan, gangguan tidur, bahkan depresi berat.


4. Tidak Ada Dukungan Emosional Saat Proses Aborsi

Banyak perempuan memilih menjalani aborsi secara diam-diam karena takut dihakimi.
Mereka berusaha menutupi kehamilan dan tindakan yang dilakukan, bahkan dari orang terdekat.

Ketika proses ini berlangsung tanpa dukungan moral atau emosional, rasa sepi, bersalah, dan sedih akan semakin kuat.
Pasien yang menghadapi aborsi sendirian juga berisiko mengalami trauma jangka panjang karena tidak memiliki tempat berbagi perasaan.

Sebaliknya, perempuan yang mendapat dukungan emosional dari keluarga, sahabat, atau tenaga profesional cenderung pulih lebih cepat dan mampu menerima kondisi yang terjadi.


Apakah PASS Dapat Disembuhkan?

Kabar baiknya, Sindrom Stres Pasca-Aborsi dapat diatasi dengan dukungan dan terapi yang tepat.
Proses penyembuhan biasanya dimulai dari lingkungan terdekat, kemudian dilanjutkan dengan bantuan profesional seperti psikolog atau terapis jiwa.

Berikut beberapa langkah yang dapat membantu pemulihan dari stres pasca aborsi:

  1. Mencari Bantuan Profesional.
    Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah menemui psikolog, psikiater, atau konselor yang berpengalaman dalam menangani trauma.
    Setiap perempuan memiliki latar belakang dan kondisi yang berbeda, sehingga terapi perlu disesuaikan secara personal.

  2. Membangun Komunikasi dengan Orang Terdekat.
    Jangan mengatasi semuanya sendirian.
    Cobalah berbicara dengan keluarga atau sahabat yang dapat memberikan dukungan tanpa menghakimi.
    Dukungan emosional dari orang yang dipercaya sangat membantu proses penyembuhan.

  3. Menolak Tekanan dari Pihak Lain.
    Keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan kehamilan sebaiknya tetap berada di tangan pasien sendiri.
    Hindari tekanan dari pihak luar yang mencoba memaksakan kehendak atau pilihan moral tertentu.

  4. Bergabung dengan Komunitas atau Kelompok Dukungan.
    Banyak perempuan merasa lebih tenang ketika berbagi pengalaman dengan orang lain yang pernah menghadapi situasi serupa.
    Mendengar cerita dan proses pemulihan dari mereka bisa memberikan kekuatan baru dan mempercepat penyembuhan.

  5. Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental.
    Pola hidup sehat seperti tidur cukup, olahraga ringan, dan makan bergizi dapat membantu menstabilkan emosi.
    Selain itu, praktik relaksasi seperti meditasi atau pernapasan dalam juga bisa mengurangi kecemasan.


Kesimpulan

Aborsi adalah keputusan pribadi yang sering lahir dari situasi sulit.
Meski sebagian perempuan merasa lega setelah menjalani aborsi, banyak juga yang harus berjuang melawan rasa bersalah dan trauma emosional.

Kondisi seperti Post Abortion Stress Syndrome (PASS) perlu mendapatkan perhatian serius.
Dengan dukungan emosional yang tepat, terapi profesional, serta lingkungan yang penuh pengertian, pasien dapat memulihkan diri secara bertahap dan menjalani hidup dengan lebih tenang.

Setiap perempuan berhak mendapatkan penanganan medis dan psikologis yang aman, manusiawi, dan tanpa stigma.
Konsultasi dengan tenaga profesional adalah langkah terbaik untuk menghindari trauma berkepanjangan dan menjaga kesehatan mental setelah aborsi.

Facebook
Twitter
Email
WhatsApp